Pages

Sabtu, 19 Oktober 2013

Before

Before


Aku menghela nafas. Kurasakan separuh energiku terkuras habis sejak tadi, wajahku yang kotor terkena debu dan keringat semakin memperjelas keletihanku. Sekarang aku masih harus mengangkat beberapa kardus lagi, berat. Hari ini adalah hari pertama aku menempati rumah baru, rumah yang lumayan besar dengan halaman yang luas dan asri. 


Kurasakan pinggangku mulai pegal, akhirnya akupun bergegas naik kekamar baruku yang berada dilantai 2, kamarku masih berantakan, hanya beberapa perabotan seperti sofa dan kasur yang memenuhinya, tanpa berpikir panjang, aku  segera naik kekasur dan meng-istriahatkan tubuh dan otakku, dan tidak bisa kupungkiri, aku juga harus meng-istriahatkan perasaanku.  Segera ku raih ponselku ketika ku dengar suara dering yang telah kuhafal, setengah berharap aku meraihnya dan mencoba membaca nama yang tertera di layar ponselku, seketika harapanku pupus saat mendapati nama yang tertera dilayar ponselku bukanlah nama yang kuharapkan, dengan malas aku mendekatkan ponselku ketelinga.


“Sudah sampai? Bagaimana rumah barumu?” tanya Hanny dengan antusias, “Ya, lumayan, padahal aku kira rumahku bakal mirip rumah hantu, tapi ternyata tempat ini cukup asri” jawabku sambil menutup mata. “Benarkah? Apakah Harry meneleponmu? Sejak tadi dia masih dikamar, dan asal kau tahu saja, rumahku menjadi sangat sepi sejak kepindahanmu Ra” kata Hanny, bisa kubayangkan wajahnya yang cantik sedang menggerutu saat berbicara, Hanny adalah tetangga dirumah duluku, dan dia mempunyai seorang abang, namanya Harry, cinta pertamaku. 


Sejak dulu aku , Hanny dan Harry telah tumbuh bersama, petemanan kami telah berlangsung sejak aku masih berumur 8 tahun, saat itu aku sedang menangkap seekor capung digot depan rumahku, tapi tiba-tiba kedua bersaudara itu mengejutkanku dan kelanjutannya pasti bisa dibayangkan. Ya, aku jatuh kedalam got dan mereka berdua berteriak histeris, Harry yang saat itu telah berusia 10 tahun langsung menyelamatkanku, dengan susah payah dia menarikku dan akhirnya berhasil, hanya saja akhirnya dia juga harus rela jika kaos snoppy kesayangannya harus berlumur lumpur yang sangat bau, dan saat itulah aku jatuh cinta padanya, seorang anak laki-laki berkaos snoppy.


Setelah bercerita panjang lebar dengan Hanny, aku segera menutup telepon dan mencoba tidur, seluruh badanku juga telah menuntut untuk diistriahatkan, sambil menutup mata aku kembali mengingat-ngingat masa laluku, semua seakan masih sangat jelas, aku masih ingat saat aku dan Hanny sedang bermain ayunan dihalaman rumah Hanny yang terbilang sangat sejuk dan luas, sejauh mata memandang  yang ada hanyalah rumput-rumput kecil terawat, bunga berwarna-warni dan sebuah pohon mangga yang sangat besar dan rindang, saat itu Harry memetik sebuah bunga kecil berwarna kuning dan menyematkannya ketelingaku, laki-laki itu tertawa lebar memamerkan deretan gigi berwarna putih dan mata sipitnya, membuatku tersenyum tak kalah lebar.


Selama ini aku telah mencintai pria itu, mencintainya selama  10 tahun, tapi sampai sekarang aku tidak pernah tahu apa perasaanku terbalas atau tidak, setetes air mataku menetes tanpa kusadari, mengingatnya saja sungguh membuatku sakit hati, aku tak pernah berani menanyakan perasaannya padaku, mungkin ini karena aku takut dengan segala kemungkinan yang terjadi, aku takut dia tidak mencintai aku seperti aku mencintainya.


                Otakku kembali berkelana sesukanya dan berhenti mengulang memori saat aku berusia 10 tahun,  saat aku telah menjadi seorang gadis SMP, hari itu aku terbangun oleh suara teriakan Hanny dari halaman rumahku, dengan malas aku mengintip kearah jendela dan mendapati kedua bersaudara itu telah siap dengan pakaian yang melekat ditubuh mereka, Hanny dengan dress pink berpita putih dan tentu saja Harry tidak kalah keren, dia memakai kaos berwarna putih bertuliskan “LOVE” berwarna pink dengan celana selutut berwarna krem, dengan rambut jabrik dan lesung pipi yang membuatnya semakin menawan. Setelah turun dan bersiap-siap mereka mengajakku kesuatu tempat dibelakang komplek, disana terdapat sebuah jembatan kayu yang mulai rapuh dengan dikelilingi batu-batu besar.


                “SURPRISE!!” teriak Hanny saat mereka membuka penutup mata yang sedari tadi telah menutup mataku, mataku terbelalak saat mendapati jembatan tua itu telah dihias dengan pita-pita pink, beberapa balon juga disematkan begitu saja diranting pohon, tiba-tiba Harry datang membawa sebuah kue berwarna putih dengan beberapa lilin menyala diatasnya, ya, hari itu hari ulang tahunku.


                Tak hanya puas membuat permohonan dengan lilin, kami juga menuliskan permohonan di kertas dan mengikatkannya ke balon, berharap permohonan kami sampai keatas dan terbaca oleh para malaikat, sambil mengadah keatas melihat 3 balon telah semakin mengecil, kami saling tertawa dan menatap satu sama lain, saat itu aku sangat berharap waktu bisa berhenti berputar, membiarkan kami bertiga disini. Dan aku bisa melihat senyuman Harry untuk selama-lamanya.


                Kurasakan air mataku kembali menetes mengingat segala kenangan yang pernah kulewati, sampai detik ini perasaanku masih tetap sama, aku tak pernah bisa melihat pria lain selain Harry, pria itu telah membuatku jatuh cinta,  membuatku jatuh terlalu dalam hingga aku tak mampu untuk pergi lagi, tak pernah sedikitpun perasaanku berubah. Aku memejamkan mata, dan dengan perasaan tak karuan aku pun tertidur.


                Kulihat laki-laki yang berdiri didepanku ini, mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna putih merah yang sangat serasi dengan kulitnya, dengan celana selutut berwarna putih semakin membuatku tak berhenti menatapnya, rambutnya yang jabrik yang tak terlalu rapi membuatnya semakin tampan, bibir merahnya tak berhenti tersenyum saat aku dan Hanny memuji penampilannya hari ini, dengan terburu-buru dia pergi kesekolah barunya memakai sepeda karena letaknya yang sangat dekat dengan komplek kami, hari ini Harry telah menjadi murid SMA, tak pernah mau ku bayangkan apa yang akan terjadi, aku takut Harry akan jatuh cinta pada orang lain.


                Semakin hari kurasakan Harry semakin menjauh, kegiatan rutin kami yang akan selalu makan malam bersama setiap hari sabtu mendadak hilang, Harry tidak pernah hadir lagi, dia akan memilih pergi dengan teman-teman sebayanya, selalu memberikan janji dan harapan yang akhirnya dia ingkari, membuatku hanya menghela nafas setiap melihatnya pergi dari jendela kamarku. Aku merindukan masa lalu, aku merindukan kami yang dulu, aku merindukannya, sungguh-sungguh merindukannya.


Aku terbangun dan samar-samar kulihat cahaya oranye menembus kedalam kelopak mataku, ternyata mimpi. Hanya saja aku memimpikan kenangan-kenangan pahitku. Dengan malas aku memaksa kakiku mendekati jendela kamarku yang menghadap langsung kehalaman, gorden  kamarku yang berwarna putih melambai-lambai terkena angin kencang, sepertinya akan turun hujan.  Dengan tergesa-gesa aku menuruni tangga dan menggambil beberapa kotak kardus yang memuat barang-barangku. Kususun baju-baju dan segala perlengkapanku kedalam lemari, tiba-tiba mataku melihat sebuah lukisan yang sudah sangat ku kenal.


                Sebuah lukisan tangan milikku dan Harry, seingatku kami membuatnya berdua saat Hanny sedang pergi kerumah teman-temannya, kejadian itu sekitar 3 tahun yang lalu, saat itu aku dengan sengaja mencoret pipinya dan dia membalasku dengan mengoleskan cat air kehidungku, lukisan usang yang mulai memudar, waktu itu aku hanya bisa melihat wajah Harry yang letih dan serius sedang melukis sebuah pohon dan ayunan, setelah berjam-jam melukis, akhirnya lukisan itupun selesai. Akhirnya air mataku berhasil menembus pertahanan yang dari tadi telah kubuat , semua ini terlalu berat, terlalu banyak kenangan yang telah kulewati dengannya. 


                Kusentuh lukisan itu dan kuperhatikan baik-baik, ada sebuah lukisan bunga kecil berwarna kuning dan dibawahnya terdapat sebuah tulisan bertuliskan “Aku mencintaimu” saat aku menerawangnya. Mataku terbelalak membaca tulisan itu, tulisan tangan Harry, apakah selama ini Harry juga mencintaiku? Apakah ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan? Apakah aku masih belum terlambat?


                Tanpa berpikir panjang aku segera berlari keluar rumah, aku harus menemui Harry sekarang juga, kurasakan hujan rintik-rintik telah membasahi seluruh tubuhku, entahlah aku tidak peduli, aku tidak bisa menyembunyikan rona kebahagiaanku, ternyata selama ini cintaku terbalas, dan semoga aku masih belum terlambat. Aku terus berlari menuju rumah Harry yang hanya berbeda sekitar 4 komplek dari komplek baruku, sepanjang jalan aku terus memikirkan pria itu, dan melupakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

                And life will not be repeated.

                Langkahku terhenti saat melihat pemandangan didepanku ini, seorang pria sedang memeluk seorang wanita dengan mesra, dan pria itu membenamkan wajahnya dibahu wanita itu, sang wanita tersenyum dan menepuk-nepuk bahu pria itu, seakan berkata “Ada aku disini”, pria itu adalah Harry. 


Langkahku bergerak mudur dan tanpa sadar aku kembali berlari menjauhi tempat itu, air mataku tak berhenti mengalir, dengan hujan yang semakin deras semakin membuatku yakin bahwa alampun ikut merasakan kesedihanku saat ini. Aku telah terlambat, aku telah terlambat dari 3 tahun lalu. Apakah begitu sulit untuk memilikinya? Apakah waktu 10 tahun mencintainya tak cukup untuk membuktikan bahwa aku sangat mencintainya? Dan aku baru sadar, hal yang seharusnya kulakukan dari dulu adalah mengatakan bahwa aku sangat mencintainya.


 Karena lelah akhirnya akupun berhenti berlari dan memilih jongkok sambil membenamkan wajahku, aku tidak bisa menahannya lagi, tangisku meledak sederas hujannya sore ini . Kurasakan air yang sedari tadi menusuk-nusuk punggungku berhenti, apakah hujannya telah reda? Dengan heran aku mengadah keatas dan mendapati seorang pria berkacamata dengan kulit putih dan tinggi sekitar 173 cm menatapku khawatir, dia membawa sebuah payung berwarna merah dan menyodorkanku sebuah sapu tangan, laki-laki itu tersenyum dan menatapku dengan lembut.


                “Aku Hayden, kamu gak apa-apa?” tanyanya hati-hati.

                “Aku Rara” jawabku bingung.

    And my life began.


The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar